Friday, January 27, 2012

lollipop berbungkus varian rasa...

Bermula dari sungguh yang tak kiranya aku, hanya bagian mata yang tampak dalam pandangan, terhalang sungguh dengan corak kotak itu, agak coklat aku ingat, jelas, sungguh.
Berdiri tak jauh sembunyikan organ alat tengadah diantara tengadah yang lain, saling berimpit, buatnya begitu tenang dalam samarnya pandanganku tertuju.
Lalu terus berlalu beriring semakin pudar tentang ingatan awal bermula namun tetap ada, tentu, walau samar.
Samar tak semakin samar, semakin kuat entah kurasa, kasat kiranya. Lama dan semakin lama kurasa lain akan bermula itu. Entah apa buatnya semakin kuat, aku tak tentu jadinya. Hanya simpul, tentu dengan pembawa lollipop, lucu, aku suka.
Hari semakin hari kurasa lollipop seolah gulali diatas awan yang selalu kupandang manis dari sabanaku, kadang dan terkadang, labil, buatku bersimpul.
Setiap perubahan koordinat lollipop itu buat dalam aksinya buatku bersimpul dan semakin bersimpul, tenang, senang, sampai merona.
Dalam pergantian bulirnya kurasa dan kulihat bagaimana lollipop itu perlihatkan manis dan asamnya dalam perpindahan koordinat disetiap aksinya, amati dan dapat.
Baik, lebih manis rasanya. Itulah ku lukiskan tentang lollipop.
Tapi ternyata tak cukup berhenti pada kata manis saja, sedikit retak gerahamku dibuatnya, ngilu kata beberapa orang dalam ungkapannya. Memang benar kata mereka, ngilu.
Dalam pekatnya si bulat terik aku tersadar tanpa alasan dan kudengar aksi yang buatku berfikir kalau aku merasa ngilu seperti orang lain katakan. Aww sakit bukan sekedar sakit, ini lebih, ini ngilu.
Kudapati hal yang tak seharusnya merupakan bagian dari aksi lollipop yang aku tau dalam gambaran bermula. Saat itu sungguh bagaikan terang terputus dalam pekatnya si bulat terik. Pekat dan semakin pekat. Sungguh gamang jadinya kurasa saat pabrik luapan rasa kembali bekerja keras dalam pekat, deras begitu deras.
Diam dengan termenung masih bersama auman tak terbayang tentang lollipop. Tak kusangka karena itu begitu dekat hanya terhalang selapis tipis namun kaku dengan tampilan pastel beraroma kuat kulihat. Diam dalam deras bersama produksi pabrik luapan rasa, kaku, terkejut, pecah kurasa seperti gelas terjatuh, dalam sungguh menusuk.
Itu buatku berfikir atas apa yang kupinta dalam tengadah. Jawaban kupikir. Tentu atas apa yang aku luapkan pada Nya akan manisnya lollipop.
Hapus dan kuhapus dengan kerasnya usahaku, sulit tentu namun harus!
Kulalui setiap perpindahan koordinat aksiku beserta si bulir dan penghapusan bermula itu. Sulit, berat, sungguh, tapi mau apa lagi lakuku sudah buntu selain coba kuhapus lollipop karena pikirku sulit dan percuma jika anganku tuk coba manisnya lollipop. Dalam pekat dan berpijar selalu ku hapus, sedikit, sulit, entah harus apalah lakuku agar enggan kucoba lollipop. Bisa dan harus bisa pikirku. Dan bisa!
*************************************************************************************
Kembali kembangkan simpul setelah entah berapa aksi si bulir dalam sabana tempatku bersua.
Senang rasanya walau rasaku ada yang hilang, tapi tak terlalu menjadi pelapis anganku, untung saja.
Lama kurasa dapat hapuskan bermula lollipop tentu dengan aksi konyol seperti biasa dalam penghapusan bermula lollipop. Geli mungkin haha
Namun namanya roda itu berputar, kembali kuingat dan kurasa manisnya lollipop setelah kutahu dan kudengar atas apa yang sebenarnya menjadi tinta hitam pelapis manisnya lollipop dan aku mengerti, dan aku ingat, dan aku kembali, dan aku rasakan, dan lagi, dan sama indah, bahkan mungkin lebih kurasa hangatnya cipratan manis lollipop. Begitu manis rasanya, baru pertama ini aku rasakan lollipop semanis yang aku rasa kini, lollipop bermula.
Manisnya kurasa mungkin karena lollipop sama manisnya seperti gulali diatas awan dengan tingkah mengundang simpul, sungguh, seperti ada tali antara aku dan mereka, simpul kukembangakan sampai merona. Bersua dan terus bersua dalam manisnya lollipop berasa gulali di atas awan, sungguh, begitu kuat kurasa bahkan sangat kuat kurasa aksinya bagai gulali diatas awan sana.
Suatu waktu sampai ku berada pada kotak dalam sabana, tentu sabana baru setelah aku merasakan metamorphosis. Aku juga lollipop begitu hangat saling bersua dan yang tak kusangka itu membahas gulali di atas awan, cengang namun senang, tentu buatku merona pastinya, sungguh. Tak hanya tentang gulali di atas awan saja tapi yang lain pun terasa begitu hangat walaupun dalam logika itu hanya bagaikan atom tak kasat mata. Sungguh bersimpul kami sore itu, khususnya aku, kami begitu cair dan manis seperti saat ku buat teh manis dengan rasaku yang bersimpul, tentu.
Semenjak sore itu aku juga lollipop seolah begitu dekat, begitu hangat, dengan semua aksi yang bersimpul, sungguh penuh simpul, sampai aku juga lollipop lantunkan siulan merdu pembangkit semangat yang kami gemari karena berisikan siulan si legit di atas awan salah satunya. Dan rasaku kala itu sunggulah begitu tak menentu akibat begitu bersimpul dalam merona sampai merah, begitu merah, senang ataukah riang ataukah apa yang kurasa aku tak mengerti, sungguh, suram dalam manis yang bersimpul.
Begitu dan begitu seterusnya kurasa setelah kutahu tinta hitam yang menjadi pembuat buram manisnya lollipop sampai pada gurauan hangat yang begitu buatku merona dan berisik, mungkin. Terbahak, cekikik, berguling kanan kiri, berputar dan melompat bagai kelinci kecil pemakan wortel di sabana itu, begitu riang lepas tanpa beban walaupun dalam bentuk atom tak kasat mata, sungguh begitu lepas aku bersua.
Tergambar sungguh begitu jelas dalam pekat si bulir tertidur begitu juga aku tentang lollipop, mungkin karena aksinya bagai si legit di atas awan yang ia tampilkan dalam setiap aksi perpindahan koordinat dalam sabana kami setelah aku metamorfosa. Jelas dan begitu jelas tergambar sampai terbawa dalam bunga lelapku dan kudapati lollipop dapat kucicip. Terbahak jadinya aku saat tersadar dari bunga lelapku sambil berkata AMIN.  Tak ingin tersadar jadinya jika kuangankan.
Simpul dan terus bersimpul saat ingat akan bunga lelapku kala itu. Sampai simpul bersimpul yang begitu simpul iringi hariku dengan merona, merah sungguh.
Tapi tetap simpul tak selamanya bersimpul karena terkadang berujung datar, begitulah hidup dalam sabana. Saat simpul terkembang sungguh sampai merona terkembang, namun saat simpul berubah haluan sembilan puluh derajat bahkan sampai seratus delapan puluh derajat itu berasa suram, buram, sampai gelap gulita dalam bulir saat bertengger pun.
Pabrik luapan rasa terus memproduksi dengan deras dan alirkan dari sudut menuju curamnya penopang jelly berbulat. Terus, deras, sangat, sampai meluap. Serasa tenggelam dalam dangkal jadinya.
Organ tak nampak miliku sampai tak menentu dibuatnya lollipop, sungguh terpuruk lebihnya jika tergambar. Aku sampai pada ujung resah tanpa bisa berlabuh karena aku tak tahu dimana letak koordinat pelabuhan bermula jika aku berada dalam koordinat hambar berangan pahit.
Kubutuhkan peri penjaga celurit pekat tuk bariskan alphabet ungkapan organ tak nampak yang begitu sensitive. Ingin ku bariskan semua, sampai tak tersisa. Tapi apa lakuku agar kuraih koordinat celurit tempat peri ayunkan kaki?
Gamang jadinya atas lollipop. Antara ingin dan tak ingin. Ingin karena memang inginku atas lollipop. Tak ingin karena aku takut akan lollipop. Entah harus bagaimana lakuku, sudah buntu. Hanya tengadah sepuluh jariku saja pilihan terakhir yang sangat mungkin. Isi tengadahku selalu harapkan dapat kucicip manisnya lollipop. Dan putus pada kalimat pasrah walau dalam sejuta harap.
Setiap perpindahan bulirnya beserta si bulat terik dalam silau dan pekatnya aku merasakan selalu saja ada manisnya lollipop dalam aksinya yang terekam oleh kamera di sabana tempatku setelah metamorphosis.
Tapi terkadang naik terkadang turun, terkadang manis terkadang asam aksinya lollipop. Buatku bingung jadinya, sungguh. Ini kali pertama kurasakan tak menentu dari tamu sabana setelah aku metamorphosis. Dan ini kali pertama aku dibuat begitu nampak dalam anganku yang berimbang dengan masaku menghirup udara kehidupan. Begitu berbanding jelas sebelum dan setelah aku bermetamorphosis. Karena setelah ku tempuh metamorphosis semua aksiku sugguh begitu nyata dalam berangan, jauh kurasa untuk ukuran masaku saat hirup udara kehidupan.
*************************************************************************************
Terkadang datar, terkadang bersimpul, terkadang mengernyitkan alis. Itulah lakuku selama dalam sabana beserta lollipop bermula dengan sampul cokelat berkotak. Memang aksinya yang tak menentu, terkadang lompat, terkadang berguling, bahkan terkadang hanya diam dalam kotak bawah beringin sabana kami setelah aku metamorphosis. Selalu dan selalu tak menentu dalam setiap aksinya, buatku sama dengannya, tak menentu.
Aku bagaikan benda keras yang tegar perhatikan aksinya lollipop dalam sabana kami, sungguh tak bosan. Tak peduli manis ataukan asam aksinya, amati saja rasaku bergumam. Dan memang benar disaat asamnya aksi lollipop aku hanya bisa diam dalam pabrik luapan rasa yang alirkan derasnya dari sudut menuju curamnya penopang jelly bulat berbinar itu, diam, bergeming, sepi.
Aku bagaikan tak berbatas dalam luruh yang selalu ikuti aksi yang berintruksi dari lollipop atasku. Sungguh apa lakuku akupun tak mengerti bahkan jika kugambarkan sekalipun, sungguh samar. Haruskan aku berhenti ataukah bertahan akupun tak tahu, gamang jadinya. Tapi semua lakuku atasnya sungguh tak berkoordinat, hanya inginku saja, sungguh. Lakuku atasnya begitu ringan karena inginku dapatkan dan miliki tetua penghapus muramnya si datar. Itu saja. Dan aku nyaman atas aksinya begitupun aksiku atasnya. Terlebih saat lollipop bermula bersiul indah sesuai harapku inginkan tetua. Akupun begitu terkembang dalam simpul merona. Indah rasanya kupikir dalam gambaran angan yang nyata atas tetua spontan yang hadir dalam aksi tak terduga.
Rasa yang normal saat kurasa datang dan perginya lollipop dari sabana kami setelah aku metamorphosis, begitu normal dengan rasa senang dan gundahnya aku dalam sabana kami. Sungguh ringan jika kuamati dalam cermin berangan pembalik, benar-benar ringan tergambar, sampai cekikik simpulku saat itu.
*************************************************************************************
Kini kurasa ada yang sengit jika dalam perang, namun ini tidaklah negative, ini buat simpul. Entah apa yang harus kugambarkan dalam situasi seperti ini. Begitu kompleks dalam konteks semasa aku menghirup udara kehidupan.
Begitu banyak hal yang kurasa lain, hal yang keluar koordinat normal. Aneh. Sungguh. Tapi simpul begitu terkembang. Meski tetap teguhkan si organ tak nampak kalau ini hanyalah saat dimana aku berada di hadapan cermin berangan pembalik.
Harapku tak munafik. Begitu aku. Ada sisi lain inginku tuk ubah cermin berangan pembalik menjadi cermin sebagaimana cermin yang biasa kupakai saat hendak berhias. Sesuai dengan lakuku.
Pikirku hanya satu, lakukan saja yang terbaik dalam target membuat simpul, tentu tak keluar dari koordinat pencitraan. Dan tetap menjadi aku.
Memang ini berasa semakin tak berjarak,sungguh bersimpul, merona tergambar. Lollipop itu tawarkan varian rasa yang belum pernah kucoba sebelumnya, begitu manis sampai melekat begitu pekat. Dengan varian rasa itu, meskipun berganti bungkusnya, tetap kurasa manis, begitu manis sampai hilang semua simpul-simpul yang tak punya estetika rasa dalam lingkup organ tak nampak, tentu.
Namun terkadang manis itu ada pahitnya saat yang menjadi bungkus adalah rumput lain dari sabana lain namun sejenis dengan tempat bergelut lollipop. Berlatar ganda antara sejenis dengan lain jenis, tentu dengan aku.
Kabar itu berawal dari kreasi dua bilah si cerdik bertema ungkapan dalam bersiul. Terlihat beberapa lemparan alphabet dalam barisannya dengan tema yang kumaksud. Kubariskan satu persatu sampai ujung dalam barisan, cukup tersedak aku saat itu. Antara ingin tahu dan menyesal telah kubariskan alphabet itu. Namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, terima saja pikirku. Lalu cari saja nyatanya dalam fakta tak bergores. Sampai pada saat kutahu apa yang menjadi akar dari ilalang pembuat gamang si organ tak nampak. Ternyata rumput itu ditanam lollipop dalam sabana yang sejenis denganku, mulai dari tak berbungkus sampai ada bungkusnya seperti yang tampak saat kulihat dalam tema yang aku maksud.
Inginku pahami namun sulit, ada saja rasaku dalam asa musuh betadine, taulah tentu rasa dari betadine jika diteteskan pada luka saat kita terjatuh. Perih.
Hanya mencoba tetap tegak bertopang bambu dari peri celurit, dan percaya penuh bahwa semua akan baik-baik saja, itu hanyalah rumput kata peri celurit.
Semenjak kata itu peri ucapkan, sampai saat ini tak nampak kulihat rumput bergoyang tumbuh dalam sabana yang sejenis denganku. Mungkin benar terkaku, ataukah mungkin karena tidak ku amati tingkahnya rumput itu. Yang pasti hanya harapku rumput tak sampai tumbuh liar di sabanaku.
Semakin hari tak kulihat gerak-gerik rumput itu, entahlah, ingin tapi tak ingin tuk tahu. Biarkan saja pikirku.
Inginku kini hanyalah lollipop tetap manis dalam semua varian rasa yang ditawarkannya padaku. Cukup aku. Juga lollipop berbungkus simpul merona.

perjalanan ini...

Hari ini aku pulang. Berangkat setelah adzan dzuhur berkumandang. Berangkat dengan bawaan di punggung dan bahu kananku. Cukup berat juga ternyata.

Travel itu datang dengan satu penumpang perempuan di dalamnya, akupun duduk di samping perempuan itu. Kesan pertama yang ada yaitu si perempuan yang duduk disebelahku sepertinya tidak terlalu percaya diri. Bodor kalau dalam bahasa sunda. Dia selalu dan selalu mengeluarkan senjata anti kurang PD nya dari tas. Itulah si CERMIN penghilang was-was dari bedak dan blush-on yang belepotan. Sebentar-sebentar si perempuan buka cermin kecil itu yang lengkap dengan berbagai warna blush-on yang ada.

Sampai suatu waktu dia bertanya dengan akrabnya. Menanyai dari mana aku berasal dan mau kemana tujuan aku saat itu. Begitupun aku balik bertnya dengan pertanyaan yang sama tentunya. Sampai akhirnya pertanyaan-pertanyaan berhenti terlontar dari bibir si perempuan yang mengkilat seperti telah melahap gorengan yang aku beli kemarin, terhenti oleh panggilan masuk untuk si perempuan, sepertinya itu merupakan telpon dari pacarnya, itu terlihat karena topik yang dibahas adalah topik yang basi, menanyakan lagi apa?, udah makan siang belum?, udah pulang belum?, terus sekarang lagi dimana?, oh jadi kamu ga percaya nih sama aku?, oh jadi gitu?, dan banyak sekali yang mereka bicarakan sampai ada kata tuh muka kamu pasaran banget ih! Yang terlontar dari si perempuan. Bukannya aku menguping, tapi bagaimana bisa tidak terdengar jika mereka bicara begitu lugas seperti pembaca berita.  

Beralih dari si perempuan yang terlihat kurang PD takut bedaknya belepotan, ini tentnag si sopir yang sepertinya dia gatal sekali jika tidak menyalip mobil yang ada di depan, sampai-sampai si sopir nyetir dengan kepala yang seolah berat sebelah yang jadinya lebih condong ke sebelah kanan karena terus mengintai mangsa yaitu mobil yang ada di depan untuk disalip. Setiap ada celah, walaupun cuma 1 mm di salip. Ekstrim sekali si sopir. Dan yang pasti gara-gara si sopir, aku tidak tenang berada di bangku yang tepat menghadap kaca depan tanpa ada penghalang sedikitpun. Dalam situasi si sopir yang selalu ngerem mendadak, dalam bayanganku, aku pasti akan terbang, meluncur seperti supergirl (kalau superman kan berarti aku laki-laki). Wusshhh  dengan kecepatan melebihi gas sesuatu yang keluar dari alat yang tidak usah aku sebutkan. 

Untung saja saat itu aku ditemani oleh SMS masuk di Handphone dari beberapa teman, setidaknya itu membuatku sedikit lebih tenang dengan candaan mereka. Dan entah mulai dari mana topik dalam SMS saat itu salah satunya bernostalgia uang lima ratus rupiah.

Si sopir semakin menunjukan bakatnya semasa mengikuti Gran Prix (menurut berita yang aku tahu dari seseorang). Banyak sekali mobil lawan yang dia salip. Sungguh super sekali pikirku saat itu karena si sopir beraksi dengan diiringi lagu yang menurutku kontras sekali dengan bakatnya, diiringi lagu Sepanjang Jalan Kenangan. Suasana melow yang mencekam dalam gambaran semasa hitam putih. Akupun merasa sampai tiga puluh tahun lebih tua dengan tongkat di tanganku dan punggung yang semakin membumi. Berlebihan mungkin, tapi mau apa lagi karena memang seperti itu suasananya, semua kembali kepada pemirsa saja.

Dengan kecepatan super dari keahlian si sopir waktu tempuh perjalanan begitu cepat. Kuamati sekitar, ternyata sekarang sedang musim anak sekolah berkerudung seperti nasi tumpeng. Apa laku mereka pikirku membawa nasi tumpeng di kepalanya. Aneh, apakah mereka tidak berat membawa nasi tumpeng ke sekolah mereka. Di samping itu posisi pelajar yang berkerudung ekor cat women masih menjadi trend yang belum tergeserkan tingkat populernya. Aneh pikirku, apa mereka tidak takut jika tiba-tiba ada monyet yang kabur dari kebun binatang lalu menarik-narik ekor cat women mereka yang menjulur dari kerudung yang mereka pakai. Kan bisa jadi sangat heboh jika itu terjadi. Rambut ekor cat women yang sudah susah payah mereka sisir selama tujuh hari tujuh malam, di rebonding lah, di smoothing lah, belum lagi dengan warna yang waw seperti harum manis yang dijual di pasar malam ditarik dengan anarkis oleh puluhan ekor monyet pencinta tarik-menarik ekor cat women. Sontak itu akan menjadi berita yang absurd yang akan muncul di koran dengan judul bercetak tebal dan berhuruf kapital “PULUHAN EKOR MONYET MENARIK RAMBUT SEORANG SISWI SMA”. Akan dikemanakan reputasi siswi berekor cat women itu. Sungguh kesesuatuan.