Monday, April 25, 2011

gamang dalam kotak hangat yang dingin...


Entah ini harus positif atau negative, gamang, ga seimbang.
Aku bebas, ga lepas. Diam, turut, nunduk, sunyi, ingin membuka, keras. Diam lagi dan mengunci diri.
Sekarang, dalam kotak hangat aku kedinginan,bagus memang tapi aku datar. Setiap pasir bergulir ingatkan aku akan bonsai tak berparasit juga peri celurit juga kelinci pemakan wortel di sabana sana, berubah simpul, sedikit, tak lama.
Aneh memang, aku dapat sayap tapi sayap itu tak cukup kuat untuk terbang, sedikit, terbang, jatuh, diam akhirnya merenung beribu tutur berjuta aksi. Ingin berdiri tapi tak cukup kuat tapi aku dikuatkan tapi tidak tapi besar tapi tetap lemah tapi aku coba, selalu.
Aku sedikit terangkat oleh sayap itu tapi dalam hitungan buku jari aku dijatuhkan oleh si pemberi sayap, aneh, mengkerut, berlipat, tapi aku mencoba rasional sedikit, susah tapi harus. Terus dan terus seperti itu, nanggung jadinya ke atas tidak, ke bawah apalagi. Menggantung.
Ga enak memang tapi ini jalan, harus kutempuh walau berat tapi akan menguatkan walau terkadang aku berpikir ini berduri dan menyiksa, tapi mungkin baik, mungkin, berpikir saja mungkin. Dan ah semoga saja bukan sekedar kata mungkin dalam tutur yang datar. Berharap saja terangnya segera datang setelah legam, sungguh bosan menunggu.
Oh ya aku heran kenapa ya setiap keyakinan ada saja sedikit gamang datang meski sekedar menyapa, padahal kan bagusnya ga perlu mampir tampilan seperti itu, aku enggan, kesal, sudah lelah, terabaikan. Bingung aksi apa yang harus aku tampilkan untuk dapat menyempurnakan sayap itu. Dan apakah mungkin sayap itu dapat kukepakkan lebar, tegas, kokoh. Semoga harapku, suatu saat yang tak perlu penantian panjang pergantian koordinat bulir pasir mikroskopis.
Berharap, selalu, pelangi dengan aksi gerak parabola lewati sabana beserta kotak hangat yang kurasa dingin karena sayap lentur menuju penunggu buah merpati dari flamingo yang berubah menjadi pelican beserta tetua sebagai penjajak dan tak lupa si legit yang sekedar tengok turun dari atas awan tinggalkan wahana super dan kerbau pendatang.

Saturday, April 23, 2011

Sabana beserta beringin tua dan bungkusan...


Duduk, menunduk, diam, ada keinginan untuk terpejam melihat bungkusan yang tak kunjung berisi. Tengok flamingo tetap saja flamingo, tak berubah jadi pelikan pengantar buah merpati, tengok lagi tetua masih belum sadar dari hibernasi panjang, dan tengok lagi si legit tetap saja asik dengan wahana super di atas awan sana sambil sesekali bermain bersama kerbau yang datang menghampiri dari pojok bumi. Aku disini cuma bisa duduk, diam, menunggu, dan jadi pengamat yang baik dengan harapan bungkusan yang terisi oleh sesuatu yang aku kejar bersama kelinci pemakan wortel melalui halilintar penembus atmosfir bumi.
Setiap hari aku berkunjung ke sabana itu untuk sekedar melihat bungkusan hampa yang kuharap dapat terisi, tapi tetap saja belum terisi. Padahal entah sudah berapa kali aksi si bulat terik itu berpindah koordinat, aku tunggu tapi tetap saja nihil. Ah aku pulang saja dan berharap besok saat aku kembali ke sabana itu bungkusannya sudah terisi. Dan harapan ya cuma harapan dari aku untuk gulali manis di atas awan sana yang tak mungkin kujemput dengan tangga yang berupa ilusi saja atau berharap cahaya menerawang ke atas sana. Tumpuanku sekarang mungkin cuma bayangan unicorn bersayap kuat yang dapat antar aku ke atas sana untuk sekedar menghampiri gulali di atas awan yang aku pun tak tahu persis dimana koordinat tepatnya gulali itu. Ah hampir melebur, tanpa arah, tanpa peta, tentu tanpa tanda penunjuk arah, atau bahkan yang sejenisnya.
Aku berlari menjajaki legam menuju peri yang sedang asik duduk di celurit malam, aku tumpahkan semua isi alphabet yang sudah mendumel dalam tuturku, peri tersenyum, bersiul, “tak mudah untuk menuju nebula dengan singkat, tentu, butuh waktu untuk mencapainya, tenang, ada siang ada malam, sekarang ini kamu berada dalam legamnya nyatamu, dan pasti akan kau temukan terang setelah legam yang kau tempuh kini”. Aku duduk, mendengar, merenung, berpikir, sambil sesekali tengok sekitar. Masih ada kelinci pemakan wortel dan bonsai tak berparasit yang selalu sempatkan waktu mereka untuk sekedar temani saat aku duduk di bawah pohon beringin tua di sabana itu. Simpulku sedikit terangkat, meskipun aku tetap sedikit terpejam.
Aku kembali melakukan hal yang sama, selalu berkunjung ke sabana itu untuk sekedar duduk di bawah beringin tua sambil melihat isi bungkusan yang selalu kuharap dapat terisi oleh gulali dari tetua sebagai penjajak, selalu, setiap si bulat terik berganti koordinat, tetap, harap, meski butuh periode yang lumayan untuk si bulir bergilir. Berharap benar saja apa kata peri di celurit malam itu.

Tuesday, April 19, 2011

celotehan dari nebula

aku memutuskan untuk bersiul memanggil tetua penjajak gulali itu setelah siulanku pada flamingo tak ditoleh. aku terus bersiul dan bersiul
setelah entah berapa aksi dalam nyata akhirnya tetua itu tengok siulku dengan simpul dan terbuka. aku tak segan melompat, bernyanyi, sampai berguling ria di atas kapas manis yang disebut harum manis oleh sebagian orang.
saat kutahu tetua itu mengangguk, akupun tak pikir panjang, langsung saja kurangkul anggukan tetua itu dengan semangat sambil melompat-lompat seperti kelinci pemakan wortel di sabana sore hari, lompat, lompat, akhirnya dapat!
aku berputar demi dapatkan isi anggukan tetua itu, setelah berbalut keringat, lelah, aku dapat! lalu kubalut isi anggukan itu sampai menjadi buah merpati yang kuharap itu akan semanis permen termanis, selesai, aku pun tersenyum, simpul, simetris, merona :)
selanjutnya ku antarkan buah merpati itu pada halilintar penembus atmosfir bumi agar cepat ditoleh si legit beserta tetua diatas awan, menunggu, isi jam pasir berganti koordinat, akhirnya, halilintar itu berikan siulan yang buatku bersimpul manis sangat simetris, tapi, eh, tapi itu belum akhir, aku baru ingat. yah apa boleh buat simpulku kini melipat berubah datar, menanti, menunggu, kering, bosan, penat, eh tapi aku jangan seperti itu. aku kembali bersiul pada tetua dan flamingo, keduanya menoleh dan membuatku yakin atas apa yang aku siulkan pada mereka, tunggu saja, tutur mereka, menunggu.
aku pun kembali duduk di bawah beringin tua sambil amati kelinci pemakan wortel itu melompat bersama kawan di sabana, yah sesekali aku tengok isi bungkusan dengan rasa harapku, tapi, yah, simpulku kembali melipat berubah datar, belum lagi saat ku tengok ke atas awan, si legit dihampiri kerbau, mereka bermain, tertawa, dan berbaur, aku terdiam, berpikir, bertanya-tanya, sedihkah? atau senangkah? atau datar saja?
pikirku biarlah saja dan berharap itu tak lebih lama dari pergantian jam pasir, semoga, sangat.*ups maaf*
aku segera menunduk agar simpulku tak menjadi lengkung dengan posisi terbalik dan menunggu flamingo beserta tetua antarkan gulali manis itu meski aku tak tahu harus sampai berapa pekan isi jam pasir itu bergilir dari koordinat, tunggu, mungkin aku akan cicipi manisnya gulali dari flamingo dan tetua itu, berharap, sangat, datar, menuggu.