Saturday, April 23, 2011

Sabana beserta beringin tua dan bungkusan...


Duduk, menunduk, diam, ada keinginan untuk terpejam melihat bungkusan yang tak kunjung berisi. Tengok flamingo tetap saja flamingo, tak berubah jadi pelikan pengantar buah merpati, tengok lagi tetua masih belum sadar dari hibernasi panjang, dan tengok lagi si legit tetap saja asik dengan wahana super di atas awan sana sambil sesekali bermain bersama kerbau yang datang menghampiri dari pojok bumi. Aku disini cuma bisa duduk, diam, menunggu, dan jadi pengamat yang baik dengan harapan bungkusan yang terisi oleh sesuatu yang aku kejar bersama kelinci pemakan wortel melalui halilintar penembus atmosfir bumi.
Setiap hari aku berkunjung ke sabana itu untuk sekedar melihat bungkusan hampa yang kuharap dapat terisi, tapi tetap saja belum terisi. Padahal entah sudah berapa kali aksi si bulat terik itu berpindah koordinat, aku tunggu tapi tetap saja nihil. Ah aku pulang saja dan berharap besok saat aku kembali ke sabana itu bungkusannya sudah terisi. Dan harapan ya cuma harapan dari aku untuk gulali manis di atas awan sana yang tak mungkin kujemput dengan tangga yang berupa ilusi saja atau berharap cahaya menerawang ke atas sana. Tumpuanku sekarang mungkin cuma bayangan unicorn bersayap kuat yang dapat antar aku ke atas sana untuk sekedar menghampiri gulali di atas awan yang aku pun tak tahu persis dimana koordinat tepatnya gulali itu. Ah hampir melebur, tanpa arah, tanpa peta, tentu tanpa tanda penunjuk arah, atau bahkan yang sejenisnya.
Aku berlari menjajaki legam menuju peri yang sedang asik duduk di celurit malam, aku tumpahkan semua isi alphabet yang sudah mendumel dalam tuturku, peri tersenyum, bersiul, “tak mudah untuk menuju nebula dengan singkat, tentu, butuh waktu untuk mencapainya, tenang, ada siang ada malam, sekarang ini kamu berada dalam legamnya nyatamu, dan pasti akan kau temukan terang setelah legam yang kau tempuh kini”. Aku duduk, mendengar, merenung, berpikir, sambil sesekali tengok sekitar. Masih ada kelinci pemakan wortel dan bonsai tak berparasit yang selalu sempatkan waktu mereka untuk sekedar temani saat aku duduk di bawah pohon beringin tua di sabana itu. Simpulku sedikit terangkat, meskipun aku tetap sedikit terpejam.
Aku kembali melakukan hal yang sama, selalu berkunjung ke sabana itu untuk sekedar duduk di bawah beringin tua sambil melihat isi bungkusan yang selalu kuharap dapat terisi oleh gulali dari tetua sebagai penjajak, selalu, setiap si bulat terik berganti koordinat, tetap, harap, meski butuh periode yang lumayan untuk si bulir bergilir. Berharap benar saja apa kata peri di celurit malam itu.

4 comments:

  1. bikabika...
    "flamingo",it sounds magnificent
    saya suka kata flamingo nya ci..

    ReplyDelete
  2. to everyone else..
    yay makasih :)
    kenapa km suka kata itu?
    oya ko blog km gabisa aku buka? aku kan jd gatau km..

    ReplyDelete
  3. Ini lebih cocok dirangkai jadi puisi..

    btw,pemilihan katanya udah cukup bagus kok :)

    ReplyDelete
  4. to Natrio Catra
    oh puisi ya kak, kapan-kapan deh aku coba bikin puisi, kl yg ini kan udah terbit :)
    makasih ya kak buat komentarnya :)

    ReplyDelete