Mengagumi adalah
hal yang indah, dan aku merasakan indahnya. Kekaguman ini sungguh berlasan,
tentu dalam akal sehatku. Kekaguman yang datang dari hal yang tak lumrah dalam
kebiasaanku sebelum aku bermetamorfosa, aneh kubilang, namun memang begitulah
seharusnya. Semua harus terjaga pada batasnya. Keterbatasan itu yang membuatku
tetap menjaga kekaguman ini.
Menjaga itu sungguh
tak semudah saat kita mendapatkan suatu hal, lebih sulit, sungguh. Ingin aku
melupakan kekaguman ini namun entah mengapa aku tetap saja bertahan, walaupun
ku tahu itu sakit, sungguh. Sahabatku berkata “aku tak sekuat kamu. Saat semua menjadi sakit dan kamu
masih tersenyum, aku bilang kamu kuat”. Bukannya
aku menampilkan sisi diriku yang seperti itu, tapi itu memang sebenarnya,
sahabatku sendiri yang berkata. Aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang
sedang aku alami dan jalani sekarang. Gamang jadinya, ini adalah saat dimana
akulah bulat di dalam kubus variatif, sungguh tidak pas, masih ada ruang yang
tidak terisi. Ruang itu sedikit namun itulah yang menjadi sisa dari bentuk
kekagumanku, bulat bentuknya, sedikit sisanya, yang itu tidak dan berkata lain.
Aku pun heran
dengan diriku, bonsai yang tetap tegak dan terus tumbuh dan kembangkan simpul
disaat ada kelinci pemakan sawi menggerogoti batang penopang. Berdiri dengan
luka gigitan dari kelinci atas tetua kurasa dalam sabana baruku. Aku persilakan
kelinci itu untuk menggerogoti batang penopang dengan rangkulan hangat dalam
simpulku untuknya. Dan semua menjadi baik walaupun aku tak baik bersama luka
gigitan si kelinci pemakan sawi atas tetua kurasa dalam sabana baruku. Hanya
terdiam dan tetap kembangkan simpul semampuku, sekuatku, sampai disaat tak
kuasaku dalam simpul aku hanya menunduk dan terdiam dalam ekspresi lumer si jelly
kenyal.
Untuknya yang
kukagumi,kuselipkan kata yang tepat, tetua. Itu adalah kata yang tepat untuknya
yang aku kagumi.Alasannya cukup aku. Tetua ada disaat simpulku datar tak
variatif. Dia kembangkan simpulku sampai merona. Namun itu selalu tak berlangsung
lama, dan kemudian dia jatuhkan aku, sampai hanya diam lakuku, dan menunduk,
sungguh.
Ingin aku pergi,
tapi aku tak mau menjadi penampik dalam sabana baruku yang kujalani, hidup
temanya. Aku ingin menjadi kuat, dan kucoba. Sampai benturan dalam tampilanku. Aku
tersenyum dalam perihku. Itu sakit, namun bisa kutahan walaupun hanya sejenak
dan kemudian aku terdiam dan menunduk. Tak ada yang memahami, semua hanya bisa
melihat dalam tampilan luarku saat semua tak tertampung dan tergambar dalam
lumeran si jelly kenyal, dan berkata “kenapa?”
Dalam kekagumanku
terlintas pertanyaan “do you know what is like to feel so in the dark?”
Gelap itu kini
kurasa dalam pandangan bersimpul, sekokoh apapun aku dikuatkan, tetap saja aku
hidup dalam rasa yang wajar, kewajaran dalam konteks rasa insan yang berupa
fitrah dariNYA. Inginku dapatkan sosok yang memberi topangan walaupun hanya
berupa sebilah bambu tuk sekedar menjadi penahan saja, tak apa, sungguh. Jangan
terus hanya aku saja yang bariskan antrian alphabet pembuat tenang, akupun
ingin ditumpahkan antrian alphabet penenang, sungguh aku ingin, sungguh. Ingin
kulontarkan teriakan “TOLONG” tapi
pita suaraku tak sekuat yang aku bayangkan, terlau lembek, rapuh bahkan.
Kini aku hanya
tengadah lakuku, hanya itu,itu saja yang aku bisa karena hanya padaNYA aku
bisa. Walaupun aku menjadi dermawan saat ku terjatuh karena kuberikan semua
masalahku padaNYA, tapi sebenarnya aku berkata pada masalaku bahwa ku punya hal
besar yang akan melawan masalah yang aku punya. Walau sebenarnya bicara itu
gampang dan yang sulit adalah bertindak seperti yang kita bicarakan. Tapi mau
tak mau itu haruslah aku jalani.