Sunday, July 24, 2011

dari hati untuk ibu...

Ibu..
Aku anakmu, sungguh begitu rapuh jika tanpa kau kuatkan, aku masih takut terjatuh dan sulit untuk bangkit.
Aku tahu, aku bukan anak kecil lagi yang bisanya cuma merengek minta mainan, minta permen, ingin susu, sampai minta digantikan popok. Aku tahu itu bu..
Kini aku sudah besar, sudah dewasa, sudah tahu apa itu “tidak” dan apa itu “ya”. Dan aku sudah tau apa yang aku mau, dalam hidupku, tentu.
Terkadang aku merenung, mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali aku ditanya tentang keadaanku, tentang semua lamunanku, sampai aku ingat itu terjadi hanya sekali dalam hidupku dikala beranjak dewasa, itupun setelah aku merasakan apa itu gelap, apa itu sendiri, apa itu terjatuh yg benar-benar terjatuh. Aku begitu ingat saat ibu menanyaiku, aku menangis, sangat menangis, semua perih itu aku katakan pada ibu, ibu diam, dan hanya terlontar kalimat “nanti kamu akan tau saat kamu menjadi orang tua, menjadi seorang ibu dari anakmu”.
Aku merasa hilang, rasanya tak berguna apa tuturku saat itu. Sampai ibu berlalu meninggalkan tempatku. Semua menjadi serba salah, setiap tuturku menjadi salah. Dan kembali aku diam, aku pendam semuanya.

Ibu…
Kapankah ibu mengucapkan selamat atas nilaiku yang sempurna?
Kapankah ibu mengucapkan selamat atas prestasi yang kuraih?
Kapankah ibu memelukku disaat aku butuh ibu dalam masa transisi yang aku jalani?
Kapankah ibu tersenyum menyambut aku yang lelah?
Kapankah ibu akan mendengar apa yang aku jeritkan?
Dan kapan ibu akan berhenti membuat aku merasa kecil?

Memang cara untuk menunjukkan kasih sayang itu sungguh bebreda dari setiap ibu, tapi haruskah ibu membandingkan aku dengan orang lain?
Maaf bu, aku bukan orang lain, dan aku tidak akan menjadi orang lain. Aku ya aku, anakmu..
Ibu…
Aku inginkan dukungan darimu, dorongan darimu, walaupun itu hanya dengan senyuman indahmu, aku akan merasa sangat bahagia. Dan tolong hentikan anggapan ibu bahwa dengan membuatku kecil aku akan merasa besar. Maaf bu, bukannya aku membangkang, tapi dengan cara seperti itu aku malah semakin jauh, semakin kecil.
Memang cara untuk menunjukkan kasih sayang itu sungguh bebreda dari setiap ibu, dan tentu cara tanggap dari setiap anak pun berbeda.

Wednesday, July 20, 2011

A Letter From Mom and Dad

Diterjemahkan dari video berjudul A Letter  from Mom and Dad

Anakku,
ketika aku tua,
aku berharap kamu mengerti dan sabar padaku.
Ketika aku memecahkan piring atau menjatuhkan sop dari meja karena penglihatanku berkurang.
Aku berharap kamu tidak berteriak memarahiku.
Orang yang sudah tua sangat sensitive.
Milikilah belas kasih ketika kamu berteriak marah.

Ketika lisanku berkurang dan aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan,
aku berharap kamu tidak berteriak padaku, “Ulangi apa yang kamu katakan atau tuliskan!”
Aku minta “maaf” anakku.
Aku “menua”.

Ketika lututku melemah, aku berharap kamu bersabar membantuku berdiri.
Seperti bagaimana dulu aku melakukannya padamu, ketika kamu kecil belajar bagaimana berjalan.
Mohon tahan terhadapku.

Ketika aku tetap mengulangi perkataanku mengenai ingatan-ingatanku yang salah.
Aku berharap kamu tetap mendengarkanku
Aku mohon jangan menertawaiku atau tidak suka mendengarkanku.

Kamu ingat ketika kamu kecil dan ingin balon?
Kamu begitu bertingkah berlebihan, melakukan apapun, dan menangis,
sampai kamu mendapatkan apa yang kamu mau.
Aku mohon,
Maafkan bauku juga.
Bauku seperti orang yang tua.
Akumohon, jangan memaksaku dengan keras untk mandi.
 Tubuhku lemah.
Orang yang tua mudah sekali sakit ketka mereka kedinginan.
Aku berharap aku tidak mempermalukanmu.
Ingatkah kamu ketika kamu kecil?
Aku mengejar dan menangkapmu ketika kamu tidak mau mandi.

Aku berharap engkau bisa sabar denganku.
Ketika aku mulai mudah ngambek dan ngomel.
Itu semua bagian dari “tua”.
Kamu akan mengerti ketika kamu semakin tua.
Dan jika kamu miliki sisa waktu, aku berharap kita bisa berbincang-bincang walaupun hanya sebentar.
Aku selalu sendiri setiap waktu dan tidak memiliki satupun teman untuk berbincang-bincang.
Aku tahu kamu sibuk bekerja.
Sekalipun kamu tidak tertarik pada ceritaku,
mohon luangkanlah waktu untukku.
Ingatkah kamu ketika masih kecil?
Aku meluangkan waktu untuk mendengarkan ceritamu tentang Teddy bearmu?
Ketika waktu itu datang, aku sakit dan terbaring di tempat tidur.
Aku berharap kamu sabar merawatku.

Aku minta maaf,
jika tiba-tiba buang air di tempat tidur, atau menyusahkanmu.
Aku harap kamu sabar merawatku sampai akhir hidupku.

Aku akan pergi dalam waktu yang tidak lama lagi.
Ketika waktu kematianku datang,
aku berharap kamu memegang tanganku dan memberiku kekuatan untuk menghadapi “mati”.
Dan jangan cemas,
ketika nanti aku bertemu Tuhan, aku akan berbisik pada-Nya.
Untuk memberkati dan merahmatimu.
Karena kamu mencintai ibu dan ayahmu,
Terima kasih banyak telah merawat kami,
Kami mencintaimu dengan banyak cinta,
-Ibu dan Ayah-


Sunday, July 17, 2011

isi dalam secarik kertas yang lalu...


Oke, sedikit bariskan alphabet tentang sosok dalam secarik kertas yang lalu, tentu berkat nyala berwarna hijau dari pemilik cerita.
Buram tentu, tapi tak ada salahnya. Sampai entah harus bersiap tuk meluncur dari station yang mana, garis pembentuk raut sedikit terangkat dengan nada “nyit” itu karena efek tak pernah bersua. Melamun dan hampir terbahak jadinya. Asli butuhkan cukup banyak penunjuk tiktok berputar, sungguh. Jika beraksi begitu saja, tersandung nantinya. Hmm ok just my imagination.
Entah seperti apa dalam bentuk tak nampak, akan ku bariskan saja dalam nyata si pemilik cerita. Menarik dalam sudut  90 derajat ukuran organ nyata dengan si bulat penghias raut yang unik pembuat sirine perintah untuk menoleh. Lakunya terbayang hangat dengan pabrik canda dan sedikit mengkerut sepertinya, terlihat dari senggolan kawan sepermainan.
Bayangan hangat dalam aksi pemilik cerita yang membuat cerita ini muncul, saat bariskan terbersit kerlingan si bulat penghias raut ikut amati setelah ada senggolan sedikit dari penghuni sabana dibawah beringin tua.

Friday, July 15, 2011

adakah simpul merona itu?

Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Selalu berputar desakan pembuat gundah, gila mungkin, bisa saja, tentu aku, sungguh. Beranjak, melangkah, didesak, tertegun, sampai hilang, masuk alam bawah, terpuruk, haruskah?
Diam dalam kotak hangat yang kurasa dingin, sendiri, sepi, gelap dalam terang. Terpencil, sungguh, terkadang aku terpuruk, sulit untuk bangun. Bulatan jeli dalam raut terasa berubah, agak berair, tapi ini selalu, jadi sudah biasa, sungguh. Entah sudah berapa banyak antrian semu yang berbaris merasuk dalam helaian lembut dengan aksi kapilaritas, tak hingga jumlahnya, sulit. Diam dalam ruang bagian dari kotak hangat yang kurasa dingin tuk tumpahkan semua pada dua bilah balok dengan operasi sahabat atas nama dasar si legit. Semua, sampai kosong.
Apa aku dalam hidupku tak berhak dapatkan apa yang aku lihat dalam bentuk simpul merona itu?

Walau hanya sejenak?

Bolehkah?
Sungguh Engkau yang selalu mendengar apa yang aku ucap, merona ataukah buram, selalu.
Tapi apa daya lakuku hanya biasa dalam alam yang begitu agung, dan aku begitu kecil, sungguh tak nampak sampai tak ada yang mengerti. Tak ada satupun sosok. Minta peri pun aku rasanya malu, kasihan peri jika sama-sama harus rasa apa yang aku rasa.

Aku hanya minta tolong.

Aku hanya ingin simpul itu kurasa merona walau tak selalu ada.

Cukup sekali, aku puas.

tetua kelinci pemakan wortel dalam secarik kertas lalu...

Cuaca kali ini begitu dingin, diiringi gerombolan pasukan jarum penghantam penyebab dinign. Berisik, datar, beku jadinya. Sementara itu peri terus ingatkan tuk tetap jadi diriku, agar cairkan beku. Aku ikuti apapun kata peri. Terbersit dalam benak saat terlintas soundtrack yang dulu merajai organ tak nampak,memang benar kupikir. Tapi sudahlah biarkan dalam amazon meskipun banyak piranha menggerogoti organ tak nampak,  nyatanya.
Seperti biasa di bawah beringin tua dalam sabana biasa harapku masih tentang sosok dalam secarik kertas lalu bergabung tuk jadi kelinci pemakan wortel, berlari riang. Dalam nyata kelinci yang berperan sebagai tetua dalam kotak hangat yang kurasa dingin. Entah akan ambil atau tidak, tengadah saja lakuku.
Terus mencari koordinat tepatnya dimana aku dapatkan lintas penghubung antara penghuni sabana dengan sosok dalam secarik kertas lalu. Mundur satu langkah,  maju dua langkah, terakhir kata peri. Terkait, sedikitmenunduk, dan ingatkan.
Sosok itu sudah tau akan antrian panjang dalam bagiannya, entah apa aksi atas lakuku. Tentu hanya tengadah, semoga simpul merona terkembag dari lukisan penyambutan kelinci pemakan wortel sebagai penghuni baru.

Tuesday, July 12, 2011

rasaku, lihat, secarik kertas lalu, tentu sosok dalamnya...

Baik niatku tuk sekedar tambah ramaikan sabana dengan kelinci pemakan wortel sebagai penghuni baru dengan maksud sosok dalam secarik kertas yang aku maksud. Namun apa lakuku sangat tak lirik olehnya, dingin, singkat, dan buatku bergetar dalam tak tenangku.

Sungguh tak banyak inginku padanya, hanya ajak tuk jadi kelinci pemakan wortel penghuni sabana, temani di bawah beringin tua, kotak pos untuk kertas berisi tumpahan dari lorong pandangan merah, simpul merona atau bahkan buram, inginku. Tapi apa lakuku tampilkan pandangan kosong, tak berarti, sungguh.

Inginku wujudnya atas lakuku, ajakmu jadi penghuni sabana tempat biasa aku duduk dibawah beringin tua, tepatnya tetua inginku, tapi apa daya atas lakuku, lagi.



Lakumu sungguh buatku meringis, sampai merintih, perih.

Friday, July 8, 2011

masih tentang secarik kertas yang lalu...

Diam pada balok  busa depan balok berantena pada koordinat 135 derajat aku seperti bercengkrama dengan bentuk setengah lingkaran itu, sungguh, reflex, manis aku pikir itu.
Duduk, amati, bahkan sampai aku hayati setiap aksi dari isi balok berantena itu, sejenak aku terpikir untuk sedikit mendalami tokoh pada isi balok berantena itu, sedikit terangkat garis penghias raut tuk sejenak berfikir dalam minat. Mungkin ada rasaku tertarik dan simpul terangkat, sedikit berdesis seperti ular mencari magsa. Aku mungkin sebagai ular dan sosok dalam secarik kertas itu adalah mangsa yang aku incar. Gila mungkin, tapi apa hasil jika hanya topang dagu lakuku.
Berhasil atau tidak, harapku simpul saja yang kudapat dari percobaan laku gila proyeksi balok berantena yang aku maksud, sungguh besar, tapi untuk sekarag ini hanya sebagai tetua saja kuharap karena itu mungkin lebih bisa kurasa dalam bentuk buah merpati dalam kurun waktu secarik kertas yang lalu yang pernah kurasa dalam organ tak nampak.

Wednesday, July 6, 2011

tulisan pada secarik kertas yang lalu...


Ada saat gulir si bulat terik berlalu dan terhapus, namun ada saat tak samar bagi si bulat terik. Itu, ya itu yang ada pada organ tak nampak, secarik kertas entah halaman berapa aku samar. Itu ga penting, yang penting dapat aku baca.
Kala itu entah apa yang tertulis dalam cerita hidup sampai aku berendam pada kesalahan saat si bulat terik sedang berjaya. Pada kotak besar berwarna oranye tentu pada muka aku lihat sosok yang ada pada secarik kertas yang aku maksud. Hanya diam, lihat, dan amati kebenaran adanya. Ah sayang sekali ada akar pohon dekat kotak yang menarik tunggangan yang dampingi aku saat itu. Dengan terpaksa aku turut pada tarikan si akar dengan berat hati. Aku berlalu dan berhenti pada kios penghilang efek si bulat terik tuk sekedar tukar benda nominal itu. Mungkin hanya sekejap, sosok dalam secarik kertas itu muncul!! Dalam benakku seperti tunggangi pegasus turun dari nebula berpapan manis. Melongo! Aku liat, dia liat OH MY GOD! Lumer dibawah si bulat terik. Segera berpaling. Kami berdiri sungguh tanpa batas, begitu dekat sampai samar lakuku, entah, sungguh.
Kira aku usai pada kios yang aku maksud, aku berpaling dan melangkah berat tanpa ada hirauku pada sekitar sampai aku hampir pakai pegasus bukan milikku dan seharusnya yang kuhampiri adalah tunggangan yang kubekal dari kotak hangat yang kubilang dingin. Indah sungguh walau singkat terulang tulisan pada secarik kertas yang aku maksud. Tulisan yang kembali setelah entah berapa aksi si bulat terik pada nebula tempatnya beraksi.