Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Selalu berputar desakan pembuat gundah, gila mungkin, bisa saja, tentu aku, sungguh. Beranjak, melangkah, didesak, tertegun, sampai hilang, masuk alam bawah, terpuruk, haruskah?
Diam dalam kotak hangat yang kurasa dingin, sendiri, sepi, gelap dalam terang. Terpencil, sungguh, terkadang aku terpuruk, sulit untuk bangun. Bulatan jeli dalam raut terasa berubah, agak berair, tapi ini selalu, jadi sudah biasa, sungguh. Entah sudah berapa banyak antrian semu yang berbaris merasuk dalam helaian lembut dengan aksi kapilaritas, tak hingga jumlahnya, sulit. Diam dalam ruang bagian dari kotak hangat yang kurasa dingin tuk tumpahkan semua pada dua bilah balok dengan operasi sahabat atas nama dasar si legit. Semua, sampai kosong.
Apa aku dalam hidupku tak berhak dapatkan apa yang aku lihat dalam bentuk simpul merona itu?
Walau hanya sejenak?
Bolehkah?
Sungguh Engkau yang selalu mendengar apa yang aku ucap, merona ataukah buram, selalu.
Tapi apa daya lakuku hanya biasa dalam alam yang begitu agung, dan aku begitu kecil, sungguh tak nampak sampai tak ada yang mengerti. Tak ada satupun sosok. Minta peri pun aku rasanya malu, kasihan peri jika sama-sama harus rasa apa yang aku rasa.
Aku hanya minta tolong.
Aku hanya ingin simpul itu kurasa merona walau tak selalu ada.
Cukup sekali, aku puas.
No comments:
Post a Comment